Minggu, 08 November 2015

KENAPA DI KAMPUS AGAMA JUSTRU BANYAK YANG CENDERUNG MENYIMPANG?


Pertanyaan ini mungkin banyak terbersit dalam benak-benak kita. Ada dua poin penting dari pertanyaan ini; yaitu Kampus Agama dan Penyimpangan. Maka kiranya, kita cukupkan membahas dua poin itu.


Pertama; kenapa Kampus Agama?

Kira-kira itulah yang dibingungkan. Tapi, bila kita cermati dengan baik, sesungguhnya itu merupakan hal yang biasa saja. Kenapa? Karena kategori penyimpangannya memang dalam hal agama, maka tentu akan tampak banyak di kampus-kampus agama.

Sebab, narasi-narasi agama memang akan lebih banyak diusung di kampus agama daripada di kampus-kampus umum. Kajian-kajian yang lahir dari interaksi dengan mata kuliah agama tentu memang lebih banyak di kampus agama daripada kampus umum. Oleh karena itulah, kemudian terkesan bahwa tokoh-tokoh yang cenderung menyimpang dalam beragama justru banyak berada di kampus-kampus agama.

Lain halnya bila terkait teori-teori sosial ataupun sains, maka penyimpangannya akan banyak ditemukan di kampus-kampus umum daripada kampus-kampus agama. Begitulah, kiranya.

Selain itu, secara efek, penyimpangan agama di kampus agama memang lebih menjadi sorotan daripada penyimpangan agama di kampus umum yang bisa dianggap ‘lumrah’ karena memang tidak mendalami mata kuliah agama secara khusus. Jadi, sesungguhnya itu merupakan ‘sebab-akibat’ yang wajar.
           
Kedua; kenapa Menyimpang?

Nah, setelah kita memahami hal itu sebagai sebuah dampak yang wajar secara ‘sebab-akibat’, selanjutnya kita bisa menanyakan sebab penyimpangan itu bisa terjadi. Jadi kita letakkan tempat terjadinya penyimpangan itu di satu sisi, dan kita letakkan penyimpangannya itu sendiri di sisi yang lain. Agar bisa menimbang secara proporsional, lalu merumuskan solusi secara proporsional pula.

Perlu dipahami, bahwa penyimpangan itu biasanya merupakan kegagalan memahami sesuatu dan kegagalan mengimplementasikan pemahamannya. Kira-kira, itu pulalah yang mendasari penyimpangan yang terjadi, termasuk di kampus-kampus agama.

Bahwa dinamika kampus, menjadikan mereka lebih banyak mempelajari agama dari teks, dan kurang memahami konteks. Bahwa dalam dinamika kampus kekinian, lebih banyak belajar agama dari buku, bukan dari guru. Dunia kampus saat ini memang lebih akrab dengan literatur, tapi minim interaksi dengan pengajar.

Padahal ada satu hal yang tidak bisa didapat kecuali dari pengajar, yaitu hikmah akan konteksnya. Dengan memahami konteksnya, maka akan dapat meminimalisir kegagalan dalam memahami dan kegagalan dalam mengimplementasikan pemahamannya.

Epilog

Dengan demikian, semoga kita dapat menempatkan permasalahan secara proporsional. Tidak perlu terlalu berkomentar, kenapa penyimpangan agama lebih banyak terjadi di kampus agama. Sebab, memang di kampus agama itulah proses belajar materi-materi agama. Dan yang namanya proses belajar, sudah sewajarnya ada kegagalan padanya. Maka, karena mereka belajar agama, kegagalan-kegagalannya pun terkait diskursus-diskursus agama.


Sehingga, kita tidak perlu terlalu fokus pada tempat penyimpangan itu terjadi. Akan lebih baik bila kita fokus pada solusi, bagaimana meminimalisir penyimpangan yang terjadi itu. Yaitu, menyelaraskan pemahaman teks dengan pemahaman konteks. Dengan cara membangun dialog dan interaksi dengan pengajar yang lebih intens lagi, dan tidak cukup hanya dengan mengonsumsi beragam literatur. Semoga, dengan begitu akan lebih selamat pemahamannya dan lebih selamat dalam mengimplementasikan pemahamannya. Wallahu’alam.


Batam, 8 September 2015

Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H


Baca juga:

2 komentar:

Lina W. Sasmita mengatakan...

Ada berita yg saya baca bahwa kampus-kampus agama malah ditengarai telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan aliran tertentu, apakah separah demikian ustadz?

Irfan Azizi mengatakan...

Hal seperti itu lumrah di mana saja, Bu. Bukan hanya kampus agama. Tapi kita tidak perlu terlalu paranoid. Keyakinan kita kan sederhana saja, 'Apabila datang kebenaran, maka yang batil akan sirna.'