Senin, 07 Desember 2015

PULAU PENYENGAT, SAKSI ISLAM NUSANTARA


Pulau itu memang terkenal dengan stok air tawarnya yang berlimpah. Oleh karenanya, para pelaut dan nelayan banyak yang menyengaja mampir sejenak di daratannya guna menambah perbekalan air minum.



Hingga suatu ketika, penjuru negeri kepulauan bahari dihebohkan dengan kabar para pelaut yang tersengat lebah. Heboh, karena lebah-lebah itu telah menelan korban dari para pelaut yang disengatnya.

Itulah kisah yang terngiang hingga kini. Dan pulau itu akhirnya dinamakan Pulau Penyengat.

Sebuah pulau kecil, yang saat menjadi pusat Pemerintahan Kerajaan Riau dinamakan Pulau Penyengat Indera Sakti. Ia pernah menjadi pusat pertahanan kawasan Riau pada tahun 1803. Lalu menjadi salah satu Negeri Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, meski kala itu Sang Sultan masih menetap di Daik-Lingga.

Tibalah tahun 1900, Sang Sultan pun pindah ke Pulau Penyengat. Maka genaplah pulau itu menjadi Pusat Pemerintahan, Pusat Adat, Pusat Agama, sekaligus Pusat Kebudayaan Melayu.

Dari pulau itulah akar Bahasa Indonesia diretas oleh seorang Pujangga Kerajaan Riau-Lingga yang pada 5 November 2004 telah ditasbihkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI. Ia adalah Raja Ali Haji, yang lahir pada tahun 1808 dan wafat pada tahun 1873.

Darinya kita mewarisi Gurindam yang sempurna daripada sekadar Syair. Yang memuat Syarat pada sajak pertamanya, dan Jawab pada sajak keduanya. Syarat dan Jawab pada Gurindam Dua Belas-nya itu tampak betul disarikan dari ajaran al Quran dan as Sunnah. Demikianlah kesaksian bahwa Melayu dan Nusantara yang tak bisa dipisahkan dari Islam.

Bila berkesempatan menepi di pulau yang berada tepat di seberang Barat Daya pulau Bintan (Tanjung Pinang) itu, sapalah Tuan Haji Jalil, Imam Masjid Raya Sulthan Riau Penyengat.


Perahu Pongpong, 6 Desember 2015

Muhammad Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar