Selasa, 08 Maret 2016

7 PERMASALAHAN KAUM MUSLIMIN


Agama Tauhid adalah agama yang hakikatnya sederhana, sehingga ummatnya hendaklah merupakan ummat yang sederhana dalam menjalani kehidupan ini; konsen pada efektivitas dan efisiensi. Namun, kenapa ummat Islam saat ini terasa pelik dengan beragam permasalahan? Di antara sebabnya adalah karena hilangnya konsentrasi ummat ini terhadap perkara efektivitas dan efisiensi dalam menjalani kehidupannya. Padahal konsep dan sistem Islam yang telah dituntunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya telah menetapkan panduan tata kelola kehidupan yang efektif dan efisien.


Sederhananya seperti prinsip ibadah dan prinsip muamalah. Bahwa semua peribadatan adalah haram, kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Dengan demikian, menjadi sederhanalah peribadatan kita, jangan melakukan kecuali yang diperintahkan. Begitupun bahwa semua interaksi kehidupan adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dengan demikian, menjadi sederhanalah interaksi kehidupan kita, silakan bereksperimen apapun dan berhentilah bila telah dilarangkan.

Terkait hal ini, maka sesungguhnya pangkal persoalan ummat Islam bila kita rincikan dapat dikerucutkan pada tujuh permasalahan. Berikut inilah tujuh titik permasalahan ummat yang hendaknya kita konsen memenuhi solusi padanya.

Pertama adalah Fardhu Kifayah

Ini adalah titik kewajiban bersama dalam sebuah komunitas ataupun teritorial, maupun ummat secara keseluruhan. Fardhu Kifayah adalah kewajiban yang bila telah ada penunainya maka gugur kewajibannya. Namun bila belum ada yang menunaikannya, kewajiban itu tetap menjadi beban bagi semua individu sampai ada yang menunaikannya.

Maka langkah untuk menunaikan kewajiban ini ada dua; Ada yang berinisiatif menunaikannya atau Dirancang bersama untuk mendelegasikan seorang yang akan menunaikannya. Dua-duanya memiliki kekhasan kendalanya masing-masing. Kendala inisiatif muncul bila merebaknya nilai-nilai egoisme dalam tataran sosial. Sementara kendala merancang bersama muncul bila kondisi kepemimpinan ummat tidak teratur.

Dalam nuansa yang diliputi jiwa-jiwa egoisme serta kepemimpinan ummat yang tak teratur, maka ummat akhirnya melalaikan Fardhu Kifayah ini. Dan inilah persoalannya. Sebab bila Fardhu Kifayah tidak terpenuhi, maka kehidupan ummat ini tidak sempurna. Lubang-lubang itulah yang pada akhirnya melemahkan ummat.

Tentu di era sekarang, kita perlu memberikan perhatian pada titik permasalahan ini. Sebab era modern ini telah melahirkan sekian banyak jiwa-jiwa individualis dan juga pola kepemimpinan yang tidak teratur. Semua merancang cita-citanya masing-masing, semua bergerak sekehendak hatinya sendiri-sendiri.

Kedua adalah Fardhu ’Ain

Ini adalah titik kewajiban setiap individu. Fardhu ’Ain adalah kewajiban bagi individu yang harus ditunaikan oleh setiap individu semampu mungkin. Maka tidak ada pilihan untuk menunaikan kewajiban ini kecuali setiap kitalah yang menunaikannya. Toleransinya hanya pada kadar penunaiannya, namun bukan pada meninggalkan penunaiannya.

Sayangnya, saat ini banyak individu ummat yang mengabaikan Fardhu ’Ain ini. Dan inilah persoalannya. Sebab bila Fardhu ’Ain tidak terpenuhi, maka kehidupan ummat menjadi sangat tidak teratur. Semakin banyak yang tidak menunaikan kewajibannya masing-masing, maka semakin banyak yang akan juga menjadi malas-malasan menunaikan kewajibannya. Hingga akhirnya akan semakin banyak pula yang saling menunjuk, saling mengandalkan dan saling menyalahkan.

Apa di antara kewajiban individu yang sering diabaikan? Yaitu amar ma’ruf nahi munkar, mengoptimalkan kebaikan dan meminimalisir keburukan. Hampir-hampir fungsi seorang Muslim untuk mengoptimalkan kebaikan hilang, sebab banyak dari mereka yang justru meninggalkan kebaikan. Begitupun hampir-hampir fungsi seorang Muslim untuk meminimalisir keburukan hilang, sebab banyak dari mereka yang justru melakukan keburukan.

Padahal bila fungsi ini diperankan dengan baik oleh setiap muslim, dengan semampunya sekalipun, akan banyak permasalahan-permasalahan ummat yang bisa diselesaikan bahkan diantisipasi.

Ketiga adalah Amal Rukun Islam

Selain titik permasalahan pada Fardhu Kifayah maupun Fardhu ’Ain tersebut, titik lainnya adalah pada pengamalan Rukun Islam. Berapa banyak individu ummat ini yang telah timpang dalam pengamalan Rukun Islam?

Berapa banyak yang bersyahadat namun tidak shalat? Berapa banyak yang shalat namun enggan membayar zakat? Berapa banyak yang berpuasa Ramadhan namun sehari-harinya tidak shalat? Berapa banyak yang pergi haji bahkan berulang-ulang, padahal zakat tak tertunaikan, bahkan puasa dan shalatnya bolong-bolong?

Sungguh titik permasalahan ini tidak bisa dibiarkan timpang begitu saja. Sebab sebagaimana namanya adalah Rukun, maka inilah yang sesungguhnya menyangga bangunan Islam. Namun bila timpang rukun (penyangga)nya, maka bangunan Islam pun tak akan kokoh. Bila bangunannya tak kokoh, maka dapat dibayangkan begitu gaduh dan paniknya ummat yang menghuni di dalamnya.

Inilah titik permasalahan yang solusinya cuma satu; tunaikan semua rukun Islam yang lima itu dengan seimbang sebagaimana tuntunannya.

Keempat adalah Amal Sunah

Bila tiga titik sebelumnya terkait kewajiban-kewajiban, baik yang berupa kewajiban bersama, kewajiban individu, hingga kewajiban yang lebih individu lagi karena bagian dari Rukun Islam, maka kini kita masuk pada titik permasalahan yang keempat. Yaitu titik amalan Sunah.

Titik inilah yang telah membuat kehidupan ummat tidak teratur, karena tidak efektif dan efisien. Di mana saat ummat lebih mementingkan amalan Sunah daripada amalan Wajib. Lalu kelelahan dengan amalan Sunah, hingga tak mampu lagi menunaikan amalan Wajib. Bahkan begitu disiplin dengan amalan Sunah, namun menunda-nunda amalan Wajib.

Padahal dalam manajemen modern, kitapun mengenal Primer dan Sekunder. Mana yang harus dilakukan dahulu, dan mana yang dilakukan menyusul nan dahulu. Kegamangan ummat dalam menimbang yang Wajib dan yang Sunah inilah, yang telah membuat ummat ini terus menambah permasalahannya; karena tidak memahami prioritas, karena kewajiban tak kunjung terselesaikan sementara energi telah terkuras untuk amalan sunah yang berlebihan.

Solusinya sederhana, yang wajib tidak lebih banyak dari yang sunah, maka selesaikan yang wajib segera mungkin. Yang sunah pun tuntunannya sederhana, maka tidak perlu berimprovisasi yang semakin mempersulit amalan sunah.

Kelima adalah Fardhiyah

Bila titik-titik sebelumnya terkait amalan, maka titik kelima ini adalah terkait pelaksanaan amalan; yaitu permasalahan Fardhiyah (Individual). Bahwa pelaksanaan amalan secara individual telah berlangsung secara berlebih-lebihan. Sehingga hanya meningkatkan kualitas hubungan dengan Khaliq, namun menurunkan kualitas hubungan dengan makhluq. Maka, tidak heran bila kehidupan ummat menjadi bermasalah. Sebab intensitas sosialnya bermasalah, sedangkan ummat adalah komunitas sosial.

Sebagian kita bermasyuk dengan wirid-wiridnya, bahkan semakin ekstrim mengunci diri dalam mihrab peribadatannya. Maka tak ada lagi tradisi amal berjamaah. Maka tak ada lagi musyawarah guna memecahkan masalah. Maka yang tumbuh hanya ego diri masing-masing.

Mencari aman dan mencari selamat; itulah yang mungkin melandasi semua sikapnya. Sehingga solusinya adalah mencukupkan ibadah-ibadah fardhiyah saat kita memang sedang sendiri. Sementara bila tiba saatnya kehidupan bergerak menginteraksikan setiap diri kita, maka saatnya ibadah kita masuk pada tataran berjamaah hingga menjadi rahmat bagi sekitar.

Keenam adalah Furu’

Titik keenam ini terkait dengan interaksi sosial. Bahwa permasalahan ummat ini salah satu pemicunya adalah pada titik ini; yaitu persoalan Furu’ (Cabang). Ketika hal-hal yang notabenenya sebagai cabang -sehingga memiliki banyak pendapat- lebih dianggap penting daripada hal-hal yang ushul (pokok), atau ketika hal-hal cabang ini dipertentangkan dengan hal-hal yang pokok. Padahal kedua hal ini tidak selaras, dan merupakan dua hal yang sesungguhnya berbeda.

Kita bisa mendapati bagaimana hiruk-pikuk dengan ragam atribut, namun tak kunjung menyelesaikan permasalahan ummat dengan sepenuh hikmat. Kita dapati bagaimana ributnya terkait sarana-sarana, sementara lupa dengan tujuannya. Kita juga dapati bagaimana mati-matiannya membela wacana dan pendapat, namun tidak juga tertarik mendalami al Qur’an dan Hadits.

Persoalan inilah yang akhirnya mengaburkan fokus ummat, dan ketidak-fokusan ummat telah menghantarkannya pada beragam permasalahan. Maka solusinya sederhana, kembalikan fokus ummat pada perkara-perkara pokok. Dan bilapun kita punya konsen pada perkara-perkara cabang, maka jangan sampai menghilangkan substansi pokoknya.

Dengan demikian, kita akan lebih mudah disatukan dan lebih mudah meredam konflik. Bersatu dan terhindar dari konflik adalah kunci efektif dan efisien menyelesaikan beragam masalah.

Ketujuh adalah An Nahiy

Titik terakhir ini juga terkait interaksi sosial kita. Yaitu perkara An Nahiy (melarang, menghilangkan, dan sebagainya). Kita memang diperintahkan amar ma’ruf nahi munkar (mengoptimalkan kebaikan dan menimilasir keburukan). Tapi perintah terhadap dua hal ini sedikit berbeda karakternya. Bila pada perintah amar ma’ruf, kita melaksanakan semampu mungkin. Sementara pada perintah nahi munkar, kita harus melaksanakannya.

Sebab meninggalkan kemunkaran adalah keharusan, sedangkan melaksanakan kebaikan adalah seruan. Maka meninggalkan kemunkaran didahulukan dari melaksanakan kebaikan. Karena kemunkaran memiliki dampak sosial yang lebih daripada dampak sosial dari kebaikan.

Secara kecenderungan pribadi pun kita lebih banyak yang mudah tergerak melarang daripada memerintah. Banyak pula dari kita yang lebih mudah merespon kemunkaran daripada menginspirasi kebaikan. Maka persoalan melarang’ ini menjadi titik penting juga dalam peta permasalahan ummat.

Solusinya adalah memahami peta perkara yang perlu dilarang. Bahwa yang dilarang itu memiliki tingkatan; Haram, Syubhat, dan Makruh. Haram itu artinya hal yang dilarang. Syubhat itu artinya hal yang diragukan. Makruh itu artinya hal yang dibenci.

Maka menghilangkan yang Haram lebih didahulukan dari yang Syubhat, sementara meninggalkan yang Syubhat lebih didahulukan dari yang Makruh. Dengan demikian, akan efektif dan efisien usaha kita dalam meminimalisir kemunkaran. Setiap langkah meminimalisir kemunkaran adalah mengurangi kemunkaran itu, dan bukannya mengembang-biakkan kemunkaran serupa ataupun mengganti dengan kemunkaran yang lebih besar.


Memahami peta permasalahan ini yang akan membuat langkah-langkah kita bijak. Maka permasalahan ummat akan semakin minim, kian langkah ke langkah. Bukan justru sebaliknya.


Pasar Rebo, 8 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H

Baca juga:

Tidak ada komentar: