Senin, 14 Maret 2016

CITA-CITA DAN KEINGINAN DALAM TIMBANGAN MUSLIM

sumber: purwanto.my.id

Bila dalam melakukan aktivitas, kita telah melalui proses mempertimbangkan hukumnya, lalu nilainya, hingga aspek pelaksanannya. Maka dalam mendapatkan objek yang dicita-citakan atau diinginkan, kita hendaknya melalui proses mempertimbangkan derajat nilai kebutuhannya.


Pada aktivitas, mulanya kita menimbang antara Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh atau Haram. Pelaksanaan yang wajib didahulukan dari yang sunah, pelaksanaan yang sunah didahulukan dari yang mubah. Begitupun meninggalkan yang haram didahulukan dari meninggalkan yang makruh. Demikian pertimbangan umumnya.

Setelah kita menimbang aspek hukumnya, maka selanjutnya kita menimbang aspek nilainya yang sangat tergantung ruang dan waktu. Kewajiban di suatu tempat atau masa tertentu mungkin lebih utama dari kewajiban lainnya. Maka, di setiap tempat dan masa selalu punya prioritas aktivitas sesuai derajat nilainya yang diukur dari kebutuhan tempat dan masa tersebut.

Namun setelah kita menimbang dari aspek hukum dan nilai, maka terakhir kita perlu menimbang aspek pelaksanaannya. Tentu yang didahulukan adalah yang mudah pelaksanaannya. Demikianlah cara seorang Muslim menyusun urutan aktivitasnya.

Lalu, sekarang kita bertanya tentang suatu impian seorang Muslim. Apakah semuanya harus terwujudkan? Bukankah manusia tak punya kuasa kecuali kuasa dari Allah? Maka bila demikian, apa ukuran yang memastikan bahwa suatu objek harus didapatkan? Sebab tidak mungkin dengan ukuran manusia yang sesungguhnya tak punya kuasa apapun kecuali kuasa dari-Nya. Sementara tak satupun kita tahu apakah Allah berkehendak akan sesuatu itu kemudian ridho memberikan kuasa-Nya. Tetapi agama Islam adalah agama yang sangat humanis, maka ia telah memberikan cara pandang dalam mendapatkan sesuatu yang dicitakan ataupun diinginkan.

Sehingga tak arif bila seorang muslim terlalu memaksakan diri mendapatkan hal yang ia citakan dan inginkan, sementara ia tak pernah tahu sebutuh apa ia pada sesuatu itu sebab tiada tahu kapan akhir kehidupannya. Begitupun, tak bijak bila seorang muslim tak ingin bercita, sementara ada sunah kehidupan yang harus ia penuhi demi kelanggengan perjalanan hidupnya.

Cara pandang inilah yang menghadirkan individu-individu muslim yang arif nan bijak. Yang memandang semua mubah punya maslahat bagi diri. Namun juga memandang semua mubah tak mesti harus dimiliki diri.

Maka cara pandang ini berdasar pada disiplin ushul fiqh, yaitu dasar-dasar penetapan hukum fiqh. Ialah pada tiga hal pemetaan: Dharuriyat (Primer), Hajiyyat (Sekunder), dan Tahsinat (Tersier).

Pertama; aspek Dharuriyat

Dharuriyat adalah Primer, yaitu suatu hal yang manusia tidak bisa hidup kecuali dengannya. Hal-hal yang masuk dalam aspek Dharuriyat atau Primer ini dalam Islam ada lima; yaitu Agama, Jiwa, Nasab, Akal, dan Harta. Ada lagi yang menambahkan dengan Kehormatan. Semuanya itu merupakan tujuan syariat Islam; yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga nasab, menjaga akal, menjaga harta, dan tambahannya menjaga kehormatan.

Maka, bila suatu cita-cita atau keinginan termasuk hal yang terkait dengan keberlangsungan agama, jiwa, nasab, akal, harta, dan kehormatan, tentu menjadi prioritas pertama untuk dicapai. Namun bila tidak tercapainya cita-cita atau keinginan itu tak membahayakan agama, jiwa, nasab, akal, harta dan kehormatan, maka artinya cita-cita atau keinginan itu belum termasuk aspek Dharuriyat yang harus diutamakan.

Kedua; aspek Hajiyyat

Hajiyyat adalah Sekunder, yaitu suatu hal yang manusia masih bisa hidup namun agak kesusahan bila tanpanya. Hal-hal yang masuk dalam aspek Hajiyyat atau Sekunder ini dalam Islam adalah segala sarana-prasarana yang memudahkan kehidupan Muslim.

Namun bila sesuatu sarana-prasarana tak berpengaruh bagi efektivitas maupun efisiensi individu muslim, maka itu berarti sesuatu tersebut belum termasuk aspek Hajiyyat. Sebab ciri Hajiyyat adalah yang memudahkan sesuatu hal yang semula terasa sulit.

Ketiga; aspek Tahsinat

Tahsinat adalah Tersier, yaitu suatu hal yang manusia masih bisa hidup nyaman meskipun tanpanya. Hal-hal yang masuk dalam aspek Tahsinat atau Tersier ini dalam Islam adalah segala asesoris pelengkap yang keberadaannya hanya untuk memperindah kehidupan Muslim.

Tahsinat ini boleh kita usahakan untuk mencapainya bila aspek Dharuriyat dan aspek Hajiyyat sudah terpenuhi. Namun bila aspek Dharuriyat dan aspek Hajiyyat belum terpenuhi, maka hendaknya seorang Muslim tidak terlalu mengejar aspek Tahsinat. Demikianlah peri-kehidupan seorang Muslim, yang zuhud kepada dunia dan zuhud kepada yang ada pada orang lain. Zuhud itu adalah cita rasa diri, ia tak ada hubungannya dengan kondisi keberlimpahan nikmat maupun kondisi tanpa keberlimpahan nikmat; melainkan hendaknya ia menjadi cita rasa bagi kedua kondisi tersebut.

Epilog

Demikianlah seorang muslim bercita-cita dan berkeinginan. Sehingga ia tidak terjatuh pada hamba materi, namun juga tidak terperangkap sebagai hamba ilusi. Muslim tetaplah makhluk realita, dengan bimbingan syariat yang sangat humanis.

Bagi seorang Muslim, syariat telah mengarahkannya untuk mencapai cita-cita dan memenuhi keinginan yang termasuk Dharuriyat bagi dirinya. Lalu bila ia telah memenuhi aspek Dharuriyat-nya dalam hal keterjagaan agama, jiwa, nasab, akal, harta dan kehormatan, maka seorang muslim dipersilakan memiliki cita-cita dan keinginan terkait Hajiyyat. Hingga bila aspek Hajiyyat-nya sudah terpenuhi dan aspek Dharuriyat-nya tetap aman, maka seorang muslim dibolehkan mencari cita-cita dan keinginan lainnya terkait aspek Tahsinat.

Memang di era globalisasi yang tanpa batas ini, kita hampir-hampir tidak mampu bersabar dengan tuntunan ini. Mungkin kita merasa, bila kita tak segera mendapatkan yang sifatnya Tahsinat sementara aspek Dharuriyat dan Hajiyyat kita tak kunjung terpenuhi, maka kapan lagi kita dapat mendapatkan Tahsinat tersebut? Mumpung kesempatan! Demikian tambahan provokasinya.

Sungguh, yang penting bagi Muslim bukanlah seberapa yang ia dapatkan dari cita-citanya dan keinginannya itu. Melainkan, lebih penting bagi Muslim adalah bagaimana pola interaksinya dengan seluruh cita-citanya dan keinginannya itu. Sebab pada pola interaksi itulah prosesnya, dan pada proses itulah ujian ditebarkan. Maka berapa banyak motif yang baik menjadi rusak karena proses yang salah? Maka berapa banyak dampak yang semestinya mulia menjadi hina karena proses yang salah?

Semoga kita menjadi individu-individu Muslim yang arif dan bijak dalam memandang setiap cita-cita dan keinginan. Sebab, bukan apa yang kita inginkan, namun apa yang Allah inginkan dari kita.



Jakarta, 14 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H

Baca juga:

Tidak ada komentar: