Kamis, 10 Maret 2016

MEMAHAMI KONSEP JIHAD


Sebelumnya, mari kita berimajinasi dengan jawaban-jawaban ini. “Kami berangkat jihad untuk mempertahankan tanah air kami yang sedang terancam.” Atau jawabannya begini, “Kami pergi jihad untuk memperluas wilayah kami dan mendapatkan rampasan yang banyak.


Memahami jawaban adalah bagian dari cara kita memahami motif, proses dan dampak yang ditimbulkannya. Maka untuk memahami motif Jihad, prosesnya serta dampak yang ditimbulkannya, kita perlu memahami jawaban para mujahidnya. Apakah jawaban yang pertama ataukah jawaban yang kedua pada paragraf pertama tersebut?

Ternyata mujahid sejati, tidak pernah menjawab keduanya. Sebagaimana salah satu yang terekam dalam sejarah adalah jawaban tiga mujahid Islam kepada Panglima Persia di medan Qadisiyah. Apa jawaban Ruba’i bin Amir, Khudzaifah bin Muhshan dan Mughirah bin Syu’bah kepada Rustum?

Allah telah mengirim kami untuk membebaskan orang yang ingin melepaskan diri dari ketundukan kepada makhluk menuju ketundukan kepada Allah semata; dari dunia yang sempit menuju dunia yang leluasa; dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam. Allah telah mengutus Rasul-Nya kepada makhluk-Nya. Barangsiapa menerima (seruan) kami, kami akan menerima (perdamaian)nya, mencabut bendera perang dengannya, serta akan melepaskan dirinya dan wilayahnya. Namun, barangsiapa menolak maka kami akan memeranginya sampai kami merengkuh surga (mati syahid) atau meraih kemenangan.

Jadi, para Mujahid sejati itu berangkat bukan atas nama dirinya maupun kaumnya, melainkan atas nama Allah Rabb semesta. Jadi, misi jihad sejati hanyalah membebaskan manusia dari ketundukan kepada makhluk kepada ketundukan kepada Khaliq semata. Maka proses jihad sejati adalah menerima perdamaian bila berkenan terhadap seruan pembebasan tersebut dan tetap memerangi bila sekat-sekat belenggu masih ditancapkan oleh para Dzalim di setiap dada manusia yang dilingkupinya. Maka dampak yang ditimbulkan dari jihad sejati adalah menetapkan eksistensi Allah sebagai penguasa semesta dan menetapkan eksistensi manusia sebagai makhluk semata yang tiada membeda kecuali taqwa.

Baik, mencermati jawaban itu adalah salah satu prolog kita untuk memahami konsepsi Jihad yang sejati. Selanjutnya kita lengkapi prolog ini dengan membandingkan konsepsi agama dalam persepsi Barat dan persepsi Islam. Sebab dengan memahami persepsi agama yang sejati, maka kita akan dapat memahami konsepsi jihad yang lahir dari persepsi agama sejati tersebut. Dan pemahaman inilah yang akan memudahkan kita mencermati titik konflik dan kesalahpahamannya.

Persepsi Barat telah memandang agama ini sebatas aqidah di dalam hati, yang tidak memiliki posisi dalam praktis kehidupan. Sehingga ketika agama ini melahirkan jihad, maka jihad itu dipandang sebagai perjuangan untuk menancapkan aqidah di hati setiap manusia.

Adapun persepsi Islam memandang bahwa agama ini adalah konsep Allah bagi kehidupan kemanusiaan. Maka ketika agama ini menyeru jihad, sesungguhnya jihad itu dipandang sebagai perjuangan untuk menegakkan konsep dan membangun sistem yang telah ditetapkan Allah. Adapun urusan aqidah diserahkan kepada kebebasan masing-masing individu dalam nuansa kemerdekaan diri.

Dengan demikian, maka kita memahami bahwa jihad pada akhirnya adalah kehendak kemanusiaan dan bukanlah kehendak agama itu sendiri. Sebab kepentingannya untuk maslahat kemanusiaan bukan maslahat agama. Dikatakan kehendak kemanusiaan karena merupakan usaha menata kehidupan dengan konsep dan sistem yang telah ditetapkan oleh Tuhan penata semesta, yang paham betul pola ketertataan yang semestinya dalam kehidupan yang telah Dia ciptakan. Dan bukan dikatakan kehendak agama karena memang tidak ditujukan untuk memaksa orang beragama Islam.

Terakhir dalam prolog ini, marilah kita cermati pula bagaimana tema jihad ini diangkat oleh banyak orang yang berangkat dari rasa minder secara spiritual maupun intelektual. Kenapa mereka minder? Sebabnya adalah himpitan realita yang mengancam kaum Muslimin. Sebagian realita itu mencibir karena jihad dipandang sebagai tindak kekerasan, lalu sebagian ummat tak tahan dengan cibiran itu.

Maka alih-alih menjelaskan konsepsi jihad yang sesungguhnya, justru tersekat pada usaha yang tak berujung dalam membela jihad dengan mengalihkan diskusi yang semakin memburamkan konsepsi jihad. Ujung-ujungnya dirundung kebimbangan dalam menghadapi dua kutub; Pertama yang mencela penggunaan kekerasan, dan Kedua yang mendukung meruntuhkan kekuatan zalim.

Karena kebimbangan itulah, akhirnya menyederhanakan konsepsi dengan mengatakan bahwa Jihad merupakan bentuk perang mempertahankan diri. Tentu ini penyederhanaan, karena ketidak-tahanan diri berlelah menghadapi dua kutub sikap yang saling berlawanan.

Sebab, Jihad tidak ada hubungannya dengan peperangan manusia; bukan merupakan faktor pemicu dan bukan merupakan bentuk adaptasinya. Maka konsepsi inilah yang harus kita tuntaskan. Kita perlu memahami faktor pemicu jihad yang sesungguhnya, agar tidak salah persepsi. Faktor pemicu Jihad itu dapat kita mengerti melalui pemahaman akan identitas Islam, peran Islam dan tujuan-tujuannya di muka bumi.

Deskripsi Jihad oleh Ibnul Qayyim

Ibnul Qayyim menyisipkan bahasan “Rangkaian Tuntunan Beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam dalam Hubungannya dengan Kaum Kafir dan Munafik Sejak Diutusnya Beliau Hingga Berjumpa dengan Allah azza wa jalla” dalam kitabnya Zaadul Ma’ad. Pada pembahasan tersebut, beliau menerakan beberapa poin.

Bahwa berdasar urutan ayat yang turun di awal kepada Rasulullah, maka mulanya adalah perintah kenabian dengan ‘Bacalah!’ lalu perintah kerasulan dengan ‘Berilah Peringatan!’. Begitulah; Nabi diberi risalah, namun Rasul diberi risalah dan wajib berdakwah.

Maka Ibnul Qayyim merangkum urutan perjalanan dakwah Rasulullah menjadi 5 tahapan: kepada Kerabat dekat, kepada Kaum asal, kepada Masyarakat setempat, kepada Bangsa sekawasan, dan kepada Manusia sedunia. Sementara dua karakter Dakwah yang disebutkannya; yaitu Tanpa Pertumpahan Darah dan Tanpa Menerima Upah.

Adapun untuk dua karakter itu, Rasulullah diarahkan oleh Allah untuk melalui tiga langkah: Menjaga Harga Diri dengan Bersabar dan Mudah Memaafkan, Berhijrah, serta Berperang. Perang inipun terbagi menjadi dua arahan: Melawan Pihak yang Memerangi dan Menahan Diri terhadap Pihak yang Tidak Memerangi.

Hingga akhirnya memerangi kaum Musyrik secara umum agar agama ini semata-mata untuk Allah.

Tiga Sikap terhadap Tiga Kelompok

Setelah ada perintah Jihad, orang kafir diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: Terikat Perjanjian Damai, Layak Diperangi, dan Dalam Perlindungan.

Kepada yang terikat perjanjian, Rasulullah memenuhi perjanjian. Bila ada gejala pengkhianatan, maka Rasulullah mengembalikan perjanjian sampai terbukti pengkhianatannya. Bila benar telah dilanggar, maka Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya.

Kepada yang layak diperangi, Rasulullah melawan dengan senjata kepada orang-orang kafir dan melawan dengan argumentasi-retorika kepada orang-orang Munafik. Diperintahkan untuk merespon perdebatan mereka dan menundukkan mereka, serta berbicara dengan ungkapan ekspresif yang menyentuh relung hati mereka.

Kepada yang dalam perlindungan, Rasulullah mengambil jizyah (pungutan jaminan) atau mereka masuk Islam.

Tiga Kelompok yang Tersisa

Kira-kira demikianlah perjalanan disyariatkannya Jihad, dan demikian pula pembagian orang-orang kafir setelah disyariatkannya Jihad. Maka akhirnya manusia di muka bumi terbagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

Pertama; kaum Muslimin yang beriman kepada Rasulullah. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah –Tuhan Yang Esa- dan Rasulullah. Mereka saat itu adalah kalangan Muhajirin dan Anshar.

Kedua; kaum yang berdamai dan berlindung kepada Rasulullah. Yaitu orang-orang yang tidak beriman kepada Rasulullah, bahkan mempersekutukan Allah, namun berdamai dan berlindung kepada Rasulullah. Mereka saat itu adalah dari kalangan Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian dengan Rasulullah.

Ketiga; kaum penakut yang melawan Rasulullah. Yaitu orang-orang yang tidak beriman kepada Rasulullah dan mempersekutukan Allah, lalu menentang Rasulullah meskipun dengan keberanian yang tersisa sebab seringnya mereka ditaklukkan oleh Rasulullah di medan pertarungan. Mereka saat itu adalah kaum Musyrikin dan Nashrani di segenap wilayah.

Empat Karakter Jihad

Setelah kita mencermati tapak demi tapak perjalanan tersebut, maka selanjutnya kita dapat mencermati karakter-karakternya. Setidaknya ada 4 karakter Jihad yang dapat kita maklumi.

Pertama; karakter sebagai Sarana. Sebab sangat realistis bila agama ini berinteraksi dengan segenap fenomena kemanusiaan menggunakan beragam sarana yang relevan. Seperti menghadapi kejahiliyahan dalam keyakinan dan pemikiran yang ditopang para penguasa, maka kita perlu menghadapinya dengan sarana yang dapat menandinginya. Setidaknya dua hal: (1) Retorika dan wacana untuk meluruskan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran; dan (2) Kekuatan dan perjuangan untuk menyingkirkan hukum-hukum yang membatasi dan penguasa-penguasanya. Intinya gerakan dakwah Islam apapun bentuknya sama saja, yang terpenting pro-aktif melepaskan manusia dari pengabdian kepada sesama menjadi pengabdian kepada Allah semata.

Kedua; karakter sebagai gerakan Progresif-Implementatif. Sebab sangat relistis bila agama ini bergerak dengan bertahap, yang setiap tahapan memiliki sarana tersendiri dan setiap tahapan mengantarkan kepada tahapan berikutnya. Sehingga agama ini bukan hanya teori, yang menghadapi realita dengan sarana stagnan. Maka menjadi karakter Jihad adalah progresif, dan bukannya defensif.

Ketiga; karakter sebagai gerakan Perlawanan. Sebagaimana agama ini bertujuan untuk memurnikan penghambaan kepada Allah dan keluar dari penghambaan kepada makhluk. Maka jihad memiliki karakter perlawanan kepada manusia-manusia yang memperbudak sesamanya.

Keempat; karakter sebagai Sistem Kontrol. Bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya sistem konrol terhadap berbagai persinggungan antara masyarakat muslim dan non muslim, di atas slogan bahwa Islam adalah milik Allah. Maka sistem kontrol itulah Jihad.

Masalah Kemanusiaan

Kenapa kita perlu Jihad? Jawabanya untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan. Sebab yang membutuhkan jihad itu adalah kemanusiaan, bukan agama itu sendiri.

Menyelesaikan masalah kemanusiaan ini sangat terkait dengan penerapan tata kelola kehidupan sebagaimana yang diatur oleh Allahsubhanahu wata’ala. Bahwa tata kelola yang telah Allah tetapkan tidak bisa terimplementasi hanya dengan retorika dan wacana. Karena para penguasa yang berpengaruh dan pihak yang merampas otoritas Allah di bumi, mereka tidak akan menyerahkan otoritasnya begitu saja hanya disebabkan retorika dan wacana.

Begitulah konsep dan sistem agama ini, bukan merupakan seruan yang bersifat teori yang pasif, melainkan berupa proklamasi yang proaktif. Sehingga harus ada pergerakan selain ada wacana. Dengan demikian; wacana akan menghadapi berbagai teologi dan konsepsi, sedangkan pergerakan akan menghadapi sekat-sekat fisik.

Pergerakan ini awalnya akan menghadapi kekuatan yang lebih dominan, lalu menghadapi realita secara total dengan sarana yang relevan. Sebab perbudakan besar pada manusia di mata Islam adalah ketundukan manusia pada hukum-hukum yang diberlakukan kepada mereka oleh sekelompok manusia lainnya.

Bila mereka telah merdeka, maka mereka akan bebas memeluk aqidah sekehendak hatinya. Inilah realisasi konsep “Agama Itu Semata-mata untuk Allah”; yaitu ketergantungan dan ketundukan hanya kepada Allah.

Orientasi agama lebih luas dari orientasi aqidah. Karena agama adalah sistem kehidupan. Sehingga memungkinkan adanya loyalitas beragam komunitas kepada sistemnya yang umum. Jadi, mungkin saja dalam sebuah tatanan masyarakat itu berbeda-beda keyakinannya, namun sistem yang dijalankan adalah sistem yang telah ditetapkan Allah dalam al Qur’an dan penjelasan Hadits Rasul-Nya. Sesungguhnya sistem ini adalah sistem umum yang ditujukan bagi semua manusia, landasannya adalah nilai universal yaitu Keadilan.

Memahami Jihad

Dengan demikian, Jihad bukan pergerakan membela diri, melainkan pergerakan yang berani untuk memerdekakan manusia di bumi. Tujuannya adalah seperti tujuan Islam itu sendiri sebagai berikut:
1.      Menyeru pembebasan manusia dari perbudakan sesama manusia.
2.      Menetapkan ketuhanan Allah semata dengan segala kuasa-Nya atas makhluk.
3.      Memusnahkan cengkeraman nafsu manusia di bumi.
4.      Menegakkan syariat Allah di dunia manusia.

Maka ia digunakan ketika ada sekat dan tekanan, sehingga dakwah harus menyingkirkannya lebih dahulu dengan kekuatan fisik. Namun apabila sekat-sekat bisa dipisahkan dari individu-individu, sehingga dakwah leluasa berdialog dengan objeknya yang bebas dari segala pengaruh, maka cukuplah dengan retorika dan wacana.

Sekat dan tekanan itulah yang menjadi tabiat untuk saling berebut kekuasaan terhadap sesamanya. Maka Jihad adalah sarana untuk menyelamatkan kesemena-menaan antar manusia. Sebagaimana yang digambarkan dalam surat al Hajj ayat 40, “...Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah....”

Tahapan Rasulullah

Menurut Ibnu Qayyim, hukum berperang telah melalui beberapa tahapan: Dilarang, Diizinkan, Diperintahkan, dan Diwajibkan. Adapun rincian tahapannya sebagai berikut:

1. Allah melarang mengorbankan jihad di Makkah dan pada awal hijrah. Sebagaimana diwantikan dalam surat an Nisa ayat 77.
2. Allah mengizinkan adanya perlawanan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al Hajj ayat 39.
3. Allah memerintahkan memerangi pihak-pihak yang memerangi. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat  al Baqarah ayat 190.
4. Allah mewajibkan berjibaku melawan kaum musyrikin secara total. Sebagaimana yang diperintahkan dalam surat at Taubah ayat 36.

Kenapa di Makkah Dilarang?

Sebagaimana firman Allah, “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’” (QS. An Nisa : 77)

Larangan ini menurut Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an dapat dimaknai dengan lima hal sebagai berikut:

Pertama; bahwa pada Periode Makkah merupakan periode pembinaan dan persiapan, sehingga jangan sampai proses pembinaan ini tidak mencapai hasil yang matang karena tidak kondusifnya suasana akibat Jihad. Sebab sedikitnya ada tiga sektor pembinaan yang dilakukan:
1. Membina individu Arab untuk bersabar menghadapi penindasan, agar jiwanya bersih dan pikirannya objektif.
2. Membina dan mengendalikan emosi agar jangan mudah terpancing dan bergejolak sebagaimana watak asalnya.
3. Membina untuk berbaur dalam koordinasi yang terstruktur rapih dengan pemimpin yang ditaati.

Kedua; bahwa Dakwah dengan tanpa senjata lebih efektif dan praktis untuk lingkungan kaum Quraish yang memiliki arogansi sehingga potensial semakin menentang dan membalas dendam.

Ketiga; bahwa larangan ini untuk menghindari munculnya pertikaian dan perselisihan internal antar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, karena tidak ada otoritas yang bisa mendamaikan bila sebuah keluarga berselisih. Apalagi di saat yang sama, kaum Quraish gencar mempropaganda bangsa-bangsa Arab yang sedang berhaji dan berdagang dengan mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad telah memisahkan anak dari orangtuanya, lebih dari itu juga memisahkannya dari kaum dan sanak keluarganya.

Keempat; bahwa sejarah telah mengajarkan akan banyaknya penentang Islam yang kemudian menjadi bagian dari pasukan pembela Islam, bahkan termasuk para pemimpinnya. Meskipun karena semangat kesamaan suku dan sebagainya. Seperti Ibnu Daghnah yang tetap setia membela Abu Bakar ketika dikucilkan kaumnya. Dan satu hal yang kita pelajari dari peradaban kuno yang terkungkung dalam kerendah-dirian, biasanya justru punya semangat soliditas sosial yang lebih baik. Maka menghindari perang di Makkah artinya membuka peluang pembelaan dari masyarakatnya yang semakin simpati.

Kelima; bahwa kala itu jumlah ummat Islam masih sedikit dan terkonsentrasi di Makkah. Meskipun ada yang menyebar, tapi belum terkoordinasi. Maka komando jihad tidak akan efektif dalam kekuatan yang terkonsentrasi hanya pada satu tempat dan belum terkoordinasi dengan kekuatan di luarnya.

Kenapa di Madinah Dibolehkan bahkan Diperintahkan?

Kondisi di Madinah yang dibuka dengan perjanjian damai antara Rasulullah dengan pihak kaum Yahudi dan kabilah-kabilah Arab yang musyrik, kemudian melahirkan pembolehan bahkan perintah Jihad. Sayyid Qutb memandang bahwa pembolehan bahkan perintah ini karena dua hal berikut:

Pertama; Rasulullah telah berkesempatan untuk beretorika dan berwacana, tanpa ada tekanan dari suatu rezim politik yang mencegah beliau dan menghalangi beliau berdialog dengan masyarakat, bahkan diterima dan diakui sebagai pemimpin. Sebab dalam perjanjiannya melarang seorang pun dari masyarakat Madinah yang mengadakan perjanjian atau mengobarkan perang serta menjalin kerjasama dengan pihak luar kecuali atas izin Rasulullah.

Kedua; Rasulullah ingin memfokuskan diri untuk menghadapi kaum Quraisy, yang bisa menjadi pengganjal menghadapi kabilah-kabilah lainnya. Maka disebar peleton-peleton pada awal bulan Ramadhan (atau bulan ketujuh setelah Hijrah), dengan komandan pertama adalah Hamzah bin Abdul Muthallib. Pasukan ini beroperasi secara sinambung; awal bulan kesembilan, awal bulan ketigabelas, awal bulan keenambelas. Lalu awal bulan ketujuhbelas (bulan Rajab), dilanjutkan oleh Abdullah bin Jahsy hingga terjadi konfrontasi pertama dan berlanjut perang Badar Kubro.

Niscaya Realita

Beginilah jihad. Dan begini pula kebutuhan kita pada jihad. Sebab, agama ini harus mengantisipasi pihak-pihak yang hendak menyerangnya, karena eksistensinya itu sendiri berupa proklamasi universal atas kemahakuasaan Allah terhadap alam semesta dan pembebasan insan dari ketundukan kepada selain Allah.

Maka, memang beginilah niscaya realitanya. Mereka akan berusaha menghabisi agama ini sebagai langkah membela eksistensi mereka. Sehingga benturan fisik tidak bisa dihindari, dan kita telah menyiapkan instrumen untuk menghadapinya berupa Jihad. Akan tetapi, sebelum berjihad ke medan perang, seorang Muslim semestinya telah menceburkan diri dalam jihad akbar melawan setan dalam dirinya sendiri.

Nilai yang Harus Dijaga

Eksistensi Islam sejak awal memiliki karakteristik selalu bergerak maju untuk menyelamatkan manusia di bumi dari ketundukan kepada selain Allah. Bergerak maju ini tidak boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri dalam sekat-sekat etnis, sehingga membiarkan manusia di seluruh bumi berbuat kejahatan, kerusakan, dan peribadatan kepada selain Allah.

Adapun tujuan jihad dalam hal ini adalah menyerang sistem-sistem dan aturan-aturan yang mengungkung. Sehingga setiap individu dapat bebas dari pengaruh-pengaruh yang sesat, yang bertentangan dengan fitrah dan membelenggu kebebasan memilih.

Inilah keunikan sistem Islam! Ia bukanlah semata-mata aqidah, sehingga merasa cukup dengan menyampaikan aqidahnya melalui wacana kepada manusia. Melainkan ia adalah sebuah konsep yang tercermin dalam komunitas sistemik-dinamis yang tampil untuk membebaskan seluruh manusia.

Karenanya, komunitas-komunitas lain tidak akan memberikan momentum kepada Islam untuk mengatur kehidupan para anggota mereka sesuai konsep Islam. Sebab mereka tidak ingin kehilangan kuasa atas manusia-manusia itu. Di sinilah benturannya!

Jadi... Jihad membentur diktatorisme, namun menyelamatkan ruh kemanusiaan yang hakiki. Kemerdekaan individu, itulah ruh kemanusiaan yang diperjuangan dalam Jihad.



من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب

Baca juga:

Tidak ada komentar: