Kamis, 28 April 2016

BAGAIMANA KONSEKUENSI DARI KONSEPSI TAUHID KITA?


Pembeda antara Muslim dengan lainnya adalah pada konsepsi Tauhid. Bertolak dari konsepsi ini pula hendaknya kita menata ulang cara pandang kehidupan kita. Maka menjadi muslim adalah menjadi pribadi baru yang kembali pada nilai fitrah asalnya.

Lalu, bagaimanakah pribadi yang berkonsepsi Tauhid? Sebelum kita mengulasnya, terlebih dahulu kita urai nilai-nilai yang lahir dari konsepsi tauhid tersebut.


Nilai-Nilai Konsepsi Tauhid

Konsepsi Tauhid ini adalah landasan aqidah Islam. Ialah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang akan menurunkan nilai-nilai sebagaimana yang telah difirmankan-Nya berikut:

Pertama; hanya Satu tali ikatan manusia kepada Allah.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al Mujaadilah ayat 22, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

Kedua; hanya Satu tentara Allah.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat an Nisaa’ ayat 76, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”

Ketiga; hanya Satu jalan menuju Allah.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al An’am ayat 153, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”

Keempat; hanya Satu sistem hukum.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al Ma’idah ayat 50, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Kelima; hanya Satu syariat.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat al Jatsiyat ayat 18, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”

Keenam; hanya Satu kebenaran.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Yunus ayat 32, “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?”

Nilai-nilai itulah yang menjadi nilai satu-satunya bagi setiap individu Muslim. Sehingga dengan nilai-nilai itulah sebuah tatanan masyarakat akan dibangun. Bila enam nilai itu berhimpun menjadi satu, maka itulah wujud Negara Islam yang juga hanya satu, sesempit atau seluas apapun wilayahnya. Sedangkan wilayah di luar negara Islam itu merupakan daerah yang berada dalam kondisi perang atau kondisi perdamaian.

Keluarga yang Berkonsepsi Tauhid

Demikianlah konsepsi Tauhid menata perspektif baru kita akan kehidupan yang sejati, yaitu kehidupan yang semuanya bernasab pada Sang Pencipta. Setelah setiap individu muslim tampil dengan perspektif Tauhid tersebut, selanjutnya konsepsi Tauhid menata pengelolaan keluarga. Setidaknya ada 5 contoh yang pernah ada dalam perjalanan kehidupan manusia dan dihadirkan dalam al Qur’an sebagai perumpamaan bagi kita.

Pertama; konsepsi Tauhid seorang Ayah yang beriman terhadap Anak yang kufur.

Ialah Nuh alaihissalam, seorang hamba yang beriman sekaligus Nabi-Nya. Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi ayah bagi seorang anak yang kufur. Maka terputuslah hubungan ayah dan anak; tersebab sang anak memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat Huud ayat 45 – 47, “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’” Ia memang tetap sayang terhadap anaknya, namun ia tak mampu menolong yang menyelisihi ketetapan Allah.

Kedua; konsepsi Tauhid seorang Anak terhadap Ayah yang kufur.

Ialah Ibrahim alaihissalam, seorang hamba yang beriman sekaligus Nabi-Nya. Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi anak dari seorang ayah yang kufur. Maka terputuslah hubungan anak dan ayah, tersebab sang ayah memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat Al Mumtahanah ayat 4, “Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.’” Ia memang tetap hormat terhadap ayahnya, namun ia tak mampu menolong yang menyelisihi ketetapan Allah.

Ketiga; konsepsi Tauhid seorang Suami terhadap Istri yang kufur.

Ialah Nuh dan Hud alaihimassalam, dua orang hamba yang beriman sekaligus Nabi-Nya. Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi suami bagi istri yang kufur. Maka terputuslah perlindungan suami terhadap istri, tersebab sang istri memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat at Tahriim ayat 10, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).’”

Keempat; konsepsi Tauhid seorang Istri terhadap Suami yang kufur.

Ialah Asiyah, seorang hamba yang beriman. Namun Allah azza wa jalla takdirkan baginya menjadi istri bagi suami yang kufur. Maka terputuslah pengabdian istri terhadap suami, tersebab sang suami memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat at Tahriim ayat 11, “Dan Allah membuat istri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.’”

Kelima; konsepsi Tauhid terhadap Masyarakat atau Suku yang kufur.

Ialah para pemuda Kahfi, sekelompok hamba yang beriman. Namun Allah azza wa jalla takdirkan memiliki suku dan masyarakat asal yang kufur. Maka terputuslah loyalitas kesukuannya, tersebab Suku-nya memutus mata rantai Tauhid kepada Allah. Inilah yang diabadikan dalam surat al Kahfi ayat 13 – 16, “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.’ Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.”

Konsepsi Tauhid Melahirkan Umat Moderat

Dengan konsepsi Tauhid yang tercermin pada setiap individu beriman tersebut dan tampil dalam sikap tatanan keluarganya, maka akan lahirlah sebuah umat yang moderat. Bahwa loyalitas dibangun bukan berdasar pada sentimen kekerabatan maupun kedekatan, namun karena faktor kebenaran. Inilah letak moderatnya, sebab semua ditimbang berdasar kacamata keadilan yang terukur, buka perasaan yang kabur. Hal ini bukan mustahil, sebab sejarah telah mengajarkan dan al Qur’an telah mengabadikan.

Beginilah umat ini dibangun, jauh dari kefanatikan yang menjijikkan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Tinggalkanlah hal itu, karena itu adalah sikap yang menjijikkan.” Beliau juga bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerukan fanatisme; bukan termasuk golongan kami, orang yang berperang atas nama fanatisme; dan bukan termasuk golongan kami, orang yang mati demi sebuah fanatisme.”

Maka Allah telah mengajarkan melalui Rasul-Nya. Sebagaimana sikap Rasulullah terhadap Abu Lahab (pamannya) dan Abu Jahal (sepupunya). Meski mereka memiliki hubungan keluarga, namun penolakan Abu Lahab dan Abu Jahal akan konsepsi Tauhid telah membuat mereka membenci Muhammad.

Begitupun selanjutnya sejarah permulaan umat ini telah mengajarkan. Sebagaimana berhimpunnya Shuhaib dari Romawi, Bilal dari Habasyah, dan Salman dari Persia. Meski mereka tidak memiliki hubungan keluarga, namun berangkat dari konsepsi Tauhid maka mereka dipersaudarakan dan hidup saling mengasihi.

Inilah umat moderat yang tidak ada fanatisme kesukuan, keturunan dan kedaerahan. Menjadi moderat, karena mengukur segalanya bukan berdasar pada kedekatan suku, keturunan maupun kedaerahan; melainkan berdasar kebenaran yang hakiki.

Epilog

Beginilah Kepribadian Islam yang seharusnya. Bahwa Islam tumbuh dalam setiap individu kita; tidak sebatas ucapan lisan, tidak sekadar simbol, dan juga bukan warisan. Bahwa Islam tidak cukup hanya dinyatakan, namun juga diimplementasikan. Bahwa Islam tidak cukup hanya tampil dengan simbol-simbol, namun juga ditanamkan nilainya dalam ruh kehidupan. Bahwa Islam tidak cukup hanya sebagai warisan, namun harus diselami dengan sepenuh pemahaman.

Dengan demikian, maka Tanah airnya bukanlah sepetak tanah sebatas negara yang kita diami, Identitasnya bukanlah hanya legal-formal kartu identitas, Kekerabatannya bukanlah dibatasi ikatan darah, serta Panjinya bukanlah sebatas kebangsaan.

Inilah konsepsi Tauhid yang sesungguhnya. Bahkan kemenangannya pun bukanlah secara militer. Sebab Allah subhanahu wata’ala telah nyatakan bahwa perspektif kemenangan dalam konsepsi Tauhid adalah Berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam, bukan sekadar penaklukan militer. Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam surat an Nashr.



من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب

Baca juga:

Tidak ada komentar: