Selasa, 10 Mei 2016

OBROLAN CINTA MUDA-MUDI YANG INGIN MENIKAH

sumber: ummi-online.com

Sebagai prolog singkat, saya ingin memulai dari hal mendasar tentang falsafah pernikahan. Sebab bila terkait tips, maka itu sangat tergatung pada situasi dan kondisi. Tetapi ada yang lebih penting dari perkara teknis, yaitu perkara falsafah yang mendasarinya. Sebab sangat mungkin apa yang dilakukan seorang beriman dengan seorang yang tidak beriman itu tampak sama, namun sesungguhnya falsafah yang mendasarinya berbeda. Sayangnya terkait falsafah ini seringkali kita abaikan, sehingga kita mungkin terjebak pada tafsir filosofi yang tidak lahir dari prinsip keyakinan kita.

Maka saya ingin memulai dari saat pernikahan telah berlangsung. Sebab itu yang menjadi tujuan semua proses bertemu jodoh, namun itu pula yang menjadi awal tantangan dalam kehidupan kita.


So, yang pertama adalah memahami filosofi keyakinan kita akan struktur yang mempertemukan kita dengan pasangan. Bahwa kemungkinannya ada tiga; yaitu bila kita dipertemukan, bisa saja karena kesamaan atau keseimbangan atau kelengkapan.
1. Maka bila dipertemukan karena kesamaan, tinggallah melanjutkan secara bersamaan.
2. Maka bila dipertemukan karena keseimbangan, tinggallah melanjutkan dengan mengimbangi.
3. Maka bila dipertemukan karena kelengkapan, tinggallah melanjutkan dengan melengkapi.
Kebanyakan kita hanya memahami dengan kemungkinan pertama saja. Sehingga inilah yang menjadi persoalannya.

Poin Kedua yang ingin saya sampaikan adalah "Bahwa setelah kita membina diri, maka kita tergelitik untuk turut dalam kehidupan masyarakat. Idealnya sebelum memasuki dunia masyarakat, kita telah masuk pada dunia keluarga. Sebab keluarga itulah yang menjadi pilar pembentuk masyarakat."

Maka dahulu saya akhirnya memutuskan menikah, karena mulai mendapat amanah-amanah di tengah masyarakat yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Baik dalam bentuk organisasi, pengajian, forum, dan lainnya. Maka saya merasa perlu menikah untuk memberikan keseimbangan rasa dalam berinteraksi dengan masyarakat majemuk itu.

Poin ketiga sebagai prolog ini, saya ingin berbagi tentang proses yang pernah saya selami.

1. Saya memulai dengan itikad untuk menikah, dengan siapa, kapan dan di mana itu soal teknis yang kita tak perlu merasa terlampau berkuasa menetapkannya. Niatnya menikah, itu saja.

2. Lalu saya berkesempatan pergi Haji, dan ada seorang dalam sebuah forum menyampaikan bahwa ada anak perempuannya siap menikah.

3. Saya yang turut menyimak pun beristikharah, sederhana saja. Bila proses ini baik untuk saya jalani, maka saya memohon kepada Allah untuk memudahkan dalam membuka komunikasi dengan bapak tersebut. Namun bila proses ini tidak baik, maka memohon kepada Allah untuk mencarikan jalan yang lainnya.

4. Setelah proses Mina, dan kembali ke pemondokan. Suatu malam saya hampiri bapak itu, saya sampaikan bahwa ada yang ingin dibicarakan, bila ada waktu mungkin bisa bicara.

5. Lalu esok ba'da Shubuh sang  bapak itu menghampiri, mengajak bicara. Maka saya sampaikan, "Ustadz, kalau boleh saya izin menjajaki putrid, ustadz." Sengaja saya menggunakan istilah menjajaki karena belum tahu akan lanjut atau tidak. Sebab saya juga tidak tahu namanya, usianya dan orangnya. Anak ke berapapun, saya tidak tahu.

6. Lalu ustadz itu menyodorkan foto, minta saya lihat. Kalau nyaman, maka lanjut. Kalau tidak, tak jadi masalah, toh belum saling kenal.

7. Beliau tanya usia, dan bilang bahwa anaknya lebih tua. Dia tanya, bagaimana? Saya jawab sederhana, "Kalau menurut ustadz, bagaimana?" kata beliau, tidak ada masalah. Maka saya pun bilang, kalau begitu gak jadi masalah juga.

8. ...... Hingga akhirnya Allah berikan kemudahan sampai Aqad. Namun aqad tetap bukanlah akhir, justru itulah awal bagi sebuah proses sesungguhnya.

Saya kira 3 poin prolog itu dahulu ya... 



Tanya - Jawab

Pertanyaan I

Assalamu'alaikum…
Kak, saya mau tanya. Bedanya dipertemukan karena keseimbangan dengan dipertemukan karena kelengkapan apa, ya?

Kedua, ada gak sih 'pandangan pertama' dalam Islam?

Sukron
Dari Ranger Single bukan Jomlo


🏻Tanggapan 

Dipertemukan karena keseimbangan itu begini: cowoknya pemarah, ceweknya penyabar. Salah satu contohnya. 

Dipertemukan karena kelengkapan itu begini: cowoknya pandai produksi, ceweknya pandai promosi. 

Pandangan pertama itu adalah tuntunan sunah. Memang harus melihat, bahkan mazhab zhahiri memaknai melihat ini dengan makna umum seluas mungkin. Tapi secara sederhana adalah melihat yang melahirkan kenyamanan/ketentraman sebagai tujuan dari pernikahan. 

Wallahu'alam



Pertanyaan II

Assalamualaikum

Ranger Wow
Sesuai pengalaman ustadz, hal apa yang membuat kita yakin dan mantab dengan pilihan kita, kalau dia jodoh kita.


🏻Tanggapan 

Yang bisa kita jangkau hanyalah perkara kenyamanan hati dan mengetahui kemiripan-kemiripan, baik fisik maupun pola hidup (meskipun tidak mudah mengetahui secara sempurna karena belum hidup bersama). Tentu ini setelah istikharah.

Tapi hal yang perlu dipahami adalah dalam hal memahami jodoh, bahwa jodoh itu selamanya adalah rahasia Allah. Sebab jodoh itu bermakna purna, sedangkan tak satupun kita mengetahui titik akhir. Maka pernikahan tidak bisa serta-merta diklaim sebagai jodoh, sebab banyak kasus adanya perceraian. 

Dan sesungguhnya kita memang tidak dituntut untuk memahami jodoh, yang dituntut dari kita adalah menyikapi semua yang sedang kita hadapi dengan Sabar dan Syukur.

Tapi sabar itu tidak selalu ketika kita mendapati pasangan yang kurang berkenan, begitupun syukur tidak selalu ketika kita mendapati pasangan yang berkenan.

Sebagian sabar justru saat kita mendapati pasangan yang berkenan, dan sebagian syukur justru saat kita mendapati pasangan yang tidak berkenan. 

Inilah konsepsi yang lahir dari prinsip Tauhid kita. Dan inilah yang melahirkan sikap hidup sewajarnya. Tidak terlalu heboh, dan tidak terlalu cuek; dalam merayakan sebuah pernikahan.



Pertanyaan III

Ranger 94

Kak, setiap kita tentu punya kriteria masing-masing akan calon pasangan yang diharapkannya. Sederhanya di …. kita diajarkan memilih karena visinya sama.

Namun, banyak yang mengatakan, memilih pasangan jangan mematok kriteria yang saklek nanti susah dapat jodoh. Atau beranggapan, semua orang bisa berubah, yang penting jalani dulu saja.

Bagaimana tanggapan Kakak akan hal ini?
Sebaiknya bagaimana kita menyikapi jika memang ada kriteria khusus terkait untuk menjalani rumah tangga ke depannya?


🏻Tanggapan 

Punya kriteria tentu lebih baik, sebab memudahkan dalam proses seleksi. Itu hukum alamnya. J

Tetapi yang perlu dipahami adalah bahwa yang membuat susah atau mudahnya mendapati pasangan (saya ubah ya, bukan jodoh) bukanlah perkara kriteria. Sebab yang memudahkan dan menyusahkan itu perkara kuasa Allah. Berapa banyak yang tidak punya kriteria, tapi susah mendapati pasangan? Berapa banyak yang banyak kriteria, tapi mudah mendapati pasangan? Sungguh itu bukan persoalan kriteria.

Intinya, bila memang dimudahkan mendapati jodoh, maka itulah ketentuan Allah baginya. Bila memang susah mendapati jodoh, maka itulah ketentuan Allah. Sebab hukum menikah itu tidak selalu sunnah, ia bisa menjadi wajib, bisa pula menjadi haram. Tergantung pada motif, proses dan dampaknya.

Sekadar saran, jangan takut membuat kriteria, namun jangan letakkan kriteria itu jauh lebih kuasa dari kuasa-Nya. J



Pertanyaan IV

Rangers Akan Nikah

Maksud dari seteleh aqad itu adalah proses sesungguhnya apa yah? Bagaimana kita menghadapi itu semua?
Matur nuwun


🏻Tanggapan

Sebagian besar kita menganggap bahwa setelah aqad, semua beres. Persaingan mendapatkan pasangan usai, pasangan seutuhnya milik kita, kegalauan sirna dan sebagainya.

Padahal, sebagaimana fase kehidupan lainnya, pernikahan juga merupakan ujian sebagiannya dan sebagiannya juga kenikmatan. Karenanya tetap butuh dihadapi dengan Sabar dan Syukur.

Yang paling penting biasanya perkara mengenali pasangan dan keluarganya, serta dengan keluarga kita. Di situlah konfliknya, baik yang terungkap maupun tidak terungkap. Maka tantangan kita yang utama adalah menyelesaikan konflik ini pada permulaannya.

Memang kehidupan kita telah diliputi dengan segala mitos ‘malam pertama’ dan sebagainya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selamat dari mitos-mitos ini. J



Pertanyaan V

Assalamu'alaikum Kang Irfan...

Kalau boleh tahu dan kalau tidak keberatan, Kang Irfan nikah di usia berapa? Dan istri usia berapa?

Next pertanyaan dalam bentuk feedback.

#RangerMuda


🏻Tanggapan 

Saya nikah usia 25, dua bulan lagi usia 26.

Tapi bukan karena usia itu, saya memutuskan menikah. Melainkan karena semakin banyaknya peran-peran publik yang melibatkan pria dan perempuan. Maka saya merasa harus menikah, sebelum jauh memasuki dunia masyarakat.



Pertanyaan VI

Tanggapan dari #rangermuda 
Terkait jarak usia, bagaimana tanggapan Kang Irfan mengenai statement "Jangan menikah dengan wanita yang lebih tua dari laki-laki" dengan berbagai macam alasannya yang mungkin Kang Irfan juga tahu?


🏻Tanggapan 

Maaf, saya kurang tahu pasti statemen itu dari mana. Tapi Rasulullah pun nikah dengan yang lebih tua.

Yang jelas ini perkara muamalah yang hukum asalnya boleh, selama tidak ada nash yang tegas melarangnya.



Pertanyaan VII

Rangers bening

Bagaimana pandangan Ustadz, jika calon mertua menolak karena belum punya penghasilan tetap? Atau melihat materi calon suami anaknya?


🏻Tanggapan 

Kalau calon mertua itu adalah orang tua/wali istri, maka harus dipenuhi. Sebab yang akan menikahkan adalah orang tua/wali itu, kalau gak dipenuhi maka bisa batal. J

Yang menjadi persoalan adalah kita keburu mematok calon pasangan, sehingga tidak siap dengan penolakan dan beralih ke calon lain. J



Pertanyaan VIII

Feed back : #rangermuda

Baik, Kang.
Makasih tanggapannya.

Pertanyaan lain Kang, 
Dalam memilih keputusan untuk menikah, saya pribadi sering mendapatkan teman laki-laki yang tetap melangsungkan pernikahan meski orangtua laki-laki tidak setuju, dan mereka.mengambil kaidah bahwa sah rukun nikah salah satunya adanya saksi dari wali wanita. Gimana tuh, Kang?


🏻Tanggapan 

Begini... Sesuatu hukum (penilaian) sangat tergantung pada Motif, Proses dan Dampak.

Menikah tanpa izin ortu lelaki tetap sah. Namun yang perlu dicermati adalah 3 hal tersebut, karena itulah yang menentukan tepat dan tidak tepatnya pernikahan. Karena persoalan fiqh itu bukan sekadar benar dan salah, melainkan juga tepat dan tidak tepat.

Apa motif dia menikah tanpa seizin ortu? Bagaimana proses ia menikah? Bagaimana dampak menikahnya tanpa seizin ortu?



Pertanyaan IX

Kak, mau nanya.

Saya masih anak bawang, masih pelajar, hehe. Mungkin ini masih jauh banget dari pernikahan, tapi juga masalah perasaan. J

Ada seseorang yang suka, dan gerak-geriknya kadang membuat saya risih. Gimana caranya menjaga hati dan menganggap semua biasa-biasa aja?


🏻Tanggapan 

Kita semua tetap akan selalu masih belajar.

Persoalan rasa adalah target dari keberagamaan kita. Bahwa di antara tujuan dakwah Rasul, adalah memisahkan antara perasaan dengan realita.

Memang latihan untuk mampu memisahkan realita dengan perasaan tidak mudah, prosesnya panjang. Tapi teruslah berlatih, diawali dengan merasakan totalitas kuasa Allah. Sehingga apapun realitanya, kita tetap harus punya rasa yang biasa. Kalau tidak Syukur, maka Sabar. Jangan sampai berlebihan sedih, atau berlebihan bahagia. Sebab berlebihan adalah celah bagi setan. 

Satu lagi yang perlu dipahami adalah tentang titik kelemahan diri. Kalau kita merasa lemah dengan lawan jenis, maka kita akan selalu diuji dengan keberadaan lawan jenis. Sebab ujian dari Allah itu hakikatnya untuk meningkatkan titik kelemahan kita menjadi lebih baik. Selama kita belum memperbaiki titik kelemahan itu, maka kita akan selalu diuji pada titik terlemah itu. Maka terapinya adalah menjauhi kondisi-kondisi yang berkaitan dengan titik terlemah kita.

Saya dahulu juga merasa lemah terkait lawan jenis. Maka saya tidak berinteraksi dengan lawan jenis sampai lulus S1, baru kemudian setelah saya merasa sudah cukup memperbaiki titik terlemah itu, saya membuka diri dengan lawan jenis. Tentu dengan batasan-batasannya.

Yang tahu titik terlemah diri hanya kita. Di sinilah kejujuran kita pada Rabb Yang Maha Mengetahui.



Pertanyaan X

*Ranger Purple
Bagaimana cara mengukur kesiapan kita untuk menikah?


🏻Tanggapan 

Yang tahu siap tidaknya hanya kita. Ukuran yang bisa digunakan ada dua hal: secara Aqidah dan secara Teknis.

Secara Aqidah, ukurannya adalah seberapa kita yakin dengan Allah. Semakin yakin dengan Allah, maka semakin siap kita menikah.

Secara Teknis, ukurannya adalah bagaimana persiapan finansial, psikologi, dan komunikasi dengan keluarga. Semakin kita siap secara finansial, psikologi, dan komunikasi dengan keluarga, maka semakin siap kita menikah. 

Kalau standar kesiapan, tidak ada patokan. Namun yang harus dipahami adalah bahwa menikah itu adalah peristiwa besar, maka itu sangat melibatkan Allah.

Dan hidup kita, tidak menjawab apa yang kita inginkan. Melainkan menjawab apa yang Allah inginkan dari kita. Karenanya, mengalir saja. Berdoa pada Allah, nanti Dia yang akan memberikan kesiapan.

Jangan terlalu berusaha menunda, jangan terlalu berusaha mempercepat.

Sebab yang sudah menikah, belum tentu lebih baik dari yang belum menikah. Dan yang belum menikah, belum tentu lebih baik dari yang sudah menikah.



Pertanyaan XI

#Rangersbiru

Bagaimana jika sudah memiliki kecendurungan / rasa suka pada seorang ikhwan, salah kah? Dan sebenarnya konsep "Mencintai dalam Diam" itu boleh diterapkam atau tidak ya, Kak? Terimakasih.


🏻Tanggapan 

Kecenderungan atau rasa suka itu tidak salah. Karena rasa itu di luar kontrol kesadaran kita. Dan semua yang di luar kontrol kesadaran itu dimaafkan. Tinggal bagaimana follow up dari kecenderungan itu. Sekali lagi, motif - proses – dampak, itulah yang akan menentukan hukumnya.

Konsep mencintai dalam diam itu tidak ada dalam kaedah Islam. Sebab dalam Islam, cinta itu diungkapkan. Tetapi tetap mempertimbangkan motif mengungkapkannya, proses pengungkapannya, dan dampak pengungkapannya.



Pertanyaan XII

Assalamu'alaikum, Kak… Aku rangers, mau bertanya: Bagaimana sikap kita jika kita suka dengan ikhwan, dan kita terus terang pada ikhwan tersebut? Bagaimana tanggapannya, Kak?


🏻Tanggapan 

Adabnya, melalui perantara. Dan perantara terbaik adalah orang yang amanah dari kerabatnya.

Sembari tetap siap membedakan antara realita dan rasa. Bila realitanya tidak lanjut, maka apa rasa kita? Bila realitanya lanjut, maka apa rasa kita?

Seorang muslim harus mampu membedakan realita dan rasa, karena itulah indikasi kebaikan. Berapa banyak umat yang akhirnya hancur, karena gagal memisahkan realita dan rasa.



Pertanyaan XIII

Tanggapan #rangermuda 

Artinya sah-sah saja menurut Kang Irfan, seorang laki-laki menikah tanpa izin ortu?


🏻Tanggapan 

Itu bukan menurut saya, tapi menurut Allah dan Rasul-Nya.

Begitulah hukum fiqh-nya. Tetapi sekali lagi, bahwa ranah fiqh itu bukan sekadar perkara sah dan tidak sah, melainkan juga tepat dan tidak tepat. Ingat, pertimbangkan: Motif, Proses, dan Dampak.



Pertanyaan XIV

Ranger Hijau
Bang, mau minta tanggapannya.
Ada sebuah keadaan di mana nikah menjadi kebutuhan. Dengan tujuan menjaga diri dari hal-hal yang kotor. Karena tekanan psikologis amat kuat untuk hal tersbut.
Di sisi lain, kesiapan dalam hal waktu dan finansial belum mencukupi untuk melaksanakan hal tersebut.

Kira-kira apa solusi terbaik dalam memaksimalkan pertahanan diri untuk urusan tersebut? Dalam teorinya, salah satunya kita dianjurkan untuk berpuasa. Nah, berpuasa yang seperti apakah yang benar-benar dapat memproteksi diri kita dari hal kotor tersebut?


🏻Tanggapan 

Yang perlu dicermati adalah apa yang membuat 'nikah menjadi kebutuhan'. Jangan sampai kita sibuk mencari alternatif solusi, sementara di sisi lain ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab terus membisik-bisikkan tentang nikah, hingga seakan semuanya harus segera menikah. Kalau ini yang terjadi, maka masalah tidak akan pernah selesai.


Obrolan ini berlangsung pada 29 – 30 April 2016


Tidak ada komentar: