Selasa, 02 Januari 2018

KENAPA AL QUDS JADI LEDAKAN ISU DI TAHUN 2017? | INI CERITANYA...


Tiba-tiba di penghujung tahun 2017, masyarakat di penjuru dunia dihenyakkan dengan pemberitaan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari kota Tel Aviv ke kota Al Quds (Jerussalem). Sebenarnya bukan tiba-tiba. Sebab keputusan untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke kota Al Quds sudah diketok palu oleh Kongres Amerika Serikat sejak 1995. Tapi sejak itu pula, pemerintah Amerika Serikat belum melaksanakan rekomendasi parlemennya. Sehingga, setiap Presiden Amerika Serikat selalu membuat kontrak perpanjangan keberadaan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tel Aviv.


Perpanjangan demi perpanjangan, dari satu presiden ke presiden berikutnya. Terakhir diperpanjang oleh Presiden Barack Obama, yang akan berakhir pada bulan Mei 2017. Inilah poinnya. Kontrak perpanjangan akan habis pada Mei 2017, dan setahun sebelumnya Calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus mengangkat dalam isu kampanyenya bahwa akan memindahkan Kedutaan Besar-nya ke kota Al Quds. Janji kampanye inilah yang ditagih oleh parlemen tak lama setelah terpilihnya Donald Trumps secara resmi sebagai Presiden Amerika Serikat.

Hal itulah, yang bila kita kembali membuka-buka berita di awal tahun 2017, akan kita temukan berita yang mengabarkan bahwa lebih dari 100 anggota Kongres telah mengirimkan surat kepada Presiden Donald Trump pada tanggal 25 Januari. Isinya adalah menanyakan janji kampanye Donald Trump yang akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke kota Al Quds. Kapan dipindahkan? Demikian kira-kira pesan umumnya.

Surat-surat para anggota Kongres tersebut diikuti dengan tekanan langsung pemerintah Israel. Masih di bulan yang sama, empat hari setelah para anggota Kongres itu berkirim surat ke presidennya, pada 29 Januari secara resmi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta kepada semua Kedutaan Besar negara-negara agar pindah ke kota Al Quds. Itulah lobi sekaligus tekanan langsung pemerintah Israel kepada kebijakan Amerika Serikat.

Tekanan itu terus meningkat. Pada bulan berikutnya yaitu bulan Februari tanggal 5, sebanyak 27 orang dari Otoritas Purbakala Israel yang membentuk 5 tim telah memaksa masuk ke dalam Masjid Al Aqsha. Apa yang mereka lakukan? Memotret bagian dalam Masjid Qibli dan Musholla Marwani. Targetnya mendapatkan gambaran sempurna untuk rekonstruksi bagian-bagian Masjid Al Aqsha agar muncul kesan adanya peninggalan Yahudi di sana.

Hingga Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence pun menyatakan di dalam Forum tahunan Yahudi di Las Vegas pada 24 Februari, bahwa ide pemindahan Kedutaan ke kota Al Quds adalah ide yang bagus. Sungguh pernyataan yang bertentangan dengan pemerintah-pemerintah Amerika Serikat sebelum-sebelumnya. Bagaimanapun, kota Al Quds adalah kota bersejarah yang statusnya masih terjajah sehingga tidak boleh diklaim sepihak.

Tapi, sepertinya rancangan lobi dan tekanan telah direncanakan sedemikian rupa. Setelah Wakil Presiden Amerika Serikat berbicara di depan forum tahunan Yahudi tersebut, giliran utusan Kongres Amerika Serikat yang langsung menemui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Kunjungan itu berlangsung dari tanggal 3 Maret, dan diakhiri tanggal 6 Maret dengan menggelar konferensi pers di kota Al Quds. Pilihan tempat konferensi pers itu juga pesan tersendiri untuk menekan pemerintah Amerika Serikat. Saat itu, yang tampil adalah anggota Kongres Ron DeSantis yang juga Ketua Sub Komite Keamanan Nasional.

Seiring tekanan demi tekanan tersebut, sampailah pada detik-detik menegangkan bagi Donald Trump. Yaitu memasuki bulan Mei 2017, akhir masa berlakunya kontrak perpanjangan. Namun, akhirnya di awal bulan Mei, Donald Trump memutuskan untuk menunda pemindahan. Hal itu mempertimbangkan gejolak yang akan muncul massif di dunia internasional.

Pasca menyatakan penundaan tersebut, pada tanggal 22 Mei, Donald Trump pun mengunjungi Tel Aviv. Tujuannya menjelaskan tentang penundaan dan rencana berikutnya.

Lepas dari dinamika itu, Kantor Kepresidenan Palestina pun akhirnya mengeluarkan pernyataan tegas pada tanggal 25 Mei sebagai respon atas pernyataan Benjamin Netanyahu. Pernyataan Kantor Kepresidenan Palestina itu menegaskan bahwa kota Al Quds tetap menjadi ibukota Palestina karena di dalamnya terdapat tempat-tempat suci Islam dan Kristen. 

Akhirnya, penundaan itupun sah dengan penandatangan nota perpanjangan masa Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tel Aviv oleh Donald Trump tepat di akhir bulan, yaitu tanggal 31 Mei. Penandatangan nota perpanjangan itu demi menghindari polemik internasional.

Tentu saja itu di luar keinginan Israel. Maka bila kita membaca pemberitaan, pada bulan Juni telah terjadi peningkatan penistaan Masjid Al Aqsha oleh tentara penjajah Israel. Dimulai dari tanggal 11 Juni dengan menutup seluruh pintu Masjid Al Aqsha, hingga puncaknya tanggal 29 Juni terjadi isolasi total Masjid Al Aqsha yang mengakibatkan bentrokan jamaah sholat dengan para polisi yang menutup seluruh Masjid Al Aqsha.

Aksi protes langsung muncul di banyak negara. Hingga Masjid Al Aqsha dapat kembali ke tangan umat Islam. Berlalulah bulan Juli, meskipun lobi dan tekanan langsung tak ada lagi, namun pemberitaan tentang pemindahan Kedutaan ini masih bermunculan. Hingga bulan Agustus terjadi pemecatan atas Steve Bannon yang telah 6 bulan menjadi penasehat utama Bidang Strategi di Gedung Putih. Tidak ada alasan yang pasti. Namun sempat diberitakan bahwa telah terjadi percekcokan antara Bannon dan Kushner terkait isu pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke kota Al Quds.

Bulan berlalu dan Presiden Amerika Serikat terus gamang di tengah tekanan-tekanan zionis. Apalagi bulan Oktober adalah akhir masa perpanjangan 6 bulan dari bulan Mei, yang telah ditandatangani Presiden Donald Trump. Makanya pada tanggal 7 Oktober, Presiden Donald Trump sempat mengungkapkan dalam wawancara BBC TV, bahwa dirinya memberikan kesempatan solusi damai antara Israel dan Palestina. Namun di bulan ini pula Israel segera mengumumkan bahwa Al Quds (Jerussalem) menjadi ibukota Israel. Pengumuman ini segera memicu penolakan internasional.

Tapi, seiring kuatnya lobi dan tekanan, keluarlah pernyataan dari Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence pada 28 November, bertepatan dengan perayaan 70 tahun resolusi 181 PBB yang dulu dikeluarkan pada 29 November 1947 untuk mewujudkan solusi dua negara di atas tanah Palestina. Pernyataan Wakil Presiden Amerika Serikat itu mengabarkan bahwa Presiden Donald Trump sedang mempelajari dengan serius terkait waktu dan proses pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari kota Tel Aviv ke kota Al Quds (Jerussalem).

Tidak lama setelah pernyataan Sang Wakil Presiden tersebut, hanya berselang sepekan, akhirnya Presiden Amerika Serikat resmi mengumumkan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke kota Al Quds (Jerussalem). Pengumuman itu dilangsungkan pada tanggal 6 Desember 2017. Sejak itu, gelombang protes terus muncul di mana-mana, sampai ke meja PBB. Lebih dari 2/3 anggota PBB menolak keputusan Presiden Donald Trump, karena berpegang pada resolusi 181 terkait solusi dua negara dan menjadikan kota Al Quds adalah kota bersejarah yang tak boleh diklaim oleh sepihak.

Begitulah cerita ledakan isu al Quds di tahun 2017. Semoga kita semakin paham, bahwa peristiwa demi peristiwa itu punya rangkaiannya sendiri. Bagaimana isu Al Quds di tahun 2018? Mari kita cermati bersama...


Bandung - Ibukota Konferensi Asia Afrika, 1 Januari 2018

Muhammad Irfan Abdul Aziz
Asia Pasific Community for Palestine
(ASPAC for Palestine)

2 komentar:

Junita Susanti mengatakan...

Nice artikel kak... banyak banget pengetahuan yang aku dapatkan, thanks for sharing ^^

Irfan Azizi mengatakan...

Thanks, semoga bisa manfaat dan mencerahkan :)